[JourneytoBorneo] Orang Mana?

Aku, Evi, dan Teni mendadak roaming. Kami hanya bisa menyimak obrolan Om Iqbal, Cak Dayat, dan Mba Agie dengan tampang bingung. Mereka mbahas apa sih? tanyaku dalam hati. “Nggak ada subtitle-nya,” sahut Teni. Begitulah, mereka memang tampak asyik berbincang dengan bahasa Jawa sedangkan kami, para tamu yang belum lama tiba di Bontang, tak satupun yang mengerti bahasa itu.

“Kalian memang orang mana ta?” tanya Cak Dayat kemudian. Satu persatu pun menjawab. Orang Tasikmalaya. Orang Ciamis. Orang Jakarta. Nah, yang terakhir itu aku, seseorang yang akhirnya terpojok karena tampak “tidak special” dengan asal daerahnya, terutama sih karena nggak punya bahasa daerah yang khas. Ada sih sebenarnya, tapi aku nggak ngerti. Dari kecil hanya Bahasa Indonesia yang digunakan untuk percakapan sehari-hari.

Jangan harap bisa dengan mudah menemukan dialek orang asli Kalimantan saat di Bontang. Sejak awal berkomunikasi dengan supir travel saja sudah dibuat kaget dengan dialek Jawa-nya yang kental. Belum lagi tetangga2 Om Iqbal yang ternyata orang Jawa juga. Aku masih ingat ucapan Evi di malam ketika kami menumpang mobil Pak Kiman menuju gedung resepsi pernikahan Om Iqbal, “Kita kayak lagi bukan di Kalimantan yaa, Kak!” Pasalnya di kursi tengah, Bu Kiman dan kawan-kawan berbincang dengan bahasa Jawa, full, gak setengah2. Hoho.. Maka, Sefa pulalah yang akhirnya membantu kami menemukan dialek warga asli sana, itupun hanya satu dua orang. Ah, sepertinya aku lupa kalau Om Iqbal memang pernah berujar kalau Bontang banyak dihuni oleh pendatang dari luar Kalimantan.

Bontang memang kota kecil. Hampir 50% penduduknya berasal dari P. Jawa. Sebagian kecil lainnya dari Sulawesi. Dan sisanya adalah penduduk asli Kalimantan. Sebagai kota industri, wajarlah jika para penghuninya didominasi oleh pekerja2 yang sedang mengais rezeki di sana. Mungkin tak jauh beda dengan Jakarta. Sama2 kota kecil yang disesaki oleh pendatang. Hanya, bedanya, Jakarta lebih ramai dan complicated.

Pada akhirnya, siapapun bisa memilikinya. Bontang tak hanya dimiliki orang2 dari Suku Dayak. Jakarta pun tak lagi harus dikembangkan oleh orang Betawi. Maka, tak perlu lagi bertanya, “Orang mana?” Siapapun yang memiliki hati NuRani, yang mencintai kota itu lebih dari kota asalnya sendiri, berhak untuk turut serta dalam upaya untuk memajukan kota itu.

*ending yang sesuatu banget, haha!

***
di Balik 3 Jendela,
22 Maret 2012 pk. 12.12 wib
Dalam rangka kampanye mengembalikan semangat ngempi yang memudar ^^v

28 responses

  1. siapa yang kampanye? aku cuma lagi mengenang perjalanan ke borneo sebulan yg lalu *dengan sedikit mengaitkan dgn hal lain, eaaake rumahmu buat ngemong si embul gitu?

Leave a reply to akuai Cancel reply